Sementara kera nonhuman cenderung untuk menanggapi stimuli seksual langsung dengan sangat besar dan bebas tanggapan biologi, manusia jadi berat ¬ cieties membatasi perilaku seksual sesuai ¬ ing to elaborate konvensi, dan telah menyarankan bahwa situasi di bawah ini banyak yang terkait dengan emosi energi seks cenderung sublimated ke dalam kegiatan-kegiatan lainnya. Tetapi praktik-pasangan bonding antara manusia mengarah ke sesuatu yang lebih penting daripada ini. Hal ini untuk institusionalisasi dari KELUARGA, sebuah kelompok sosial yang terdiri dari orig ¬ inal pasangan disimpan dlm gudang-orang dewasa plus keturunan mereka.
Antropologi dan sociologists masih perdebatan yang ideal definisi dari istilah keluarga, tetapi semua setuju bahwa dalam beberapa cara gagasan dari keluarga menggabungkan gagasan dari pasangan-bonding dengan konsep rumah tangga, yang bekerja sama eko ¬ nomic unit. The evolutionary sejarah keluarga sebagai lembaga sosial yang membuat ini jelas. Pasangan-ikatan merupakan bentuk kerjasama yang dikembangkan karena kemungkinan hidup yang dipromosikan dari keturunan. Inti dari keluarga adalah berakar dalam pembentukan sepasang ¬
ikatan antara lelaki dan wanita dewasa yang bekerja sama untuk memastikan mereka tidak hanya hidup sendiri tetapi lebih khususnya mereka yang hidup dari anak-untuk memastikan, dalam istilah yang lebih luas evolusi, genetik hidup dari keturunan. Keluarga Mei terbaik itu akan ditetapkan sebagai kelompok sosial yang terdiri dari satu atau lebih laki-laki yang terhubung 'sosial yang diakui oleh kumpulan saling obliga ¬ keadaan baik dan hak-hak untuk satu atau lebih perempuan, bersama dengan keturunan mereka, yang menghadapi masalah hidup bersama sebagai perusahaan.
Manusia itu sendiri tetapi keluarga adalah unit dasar dalam jaringan yang lebih kompleks dari ikatan masyarakat. Memori dikembangkan sebagai hominid forebears antara kami, sehingga pola perilaku belajar di masa kanak-kanak cenderung diawetkan menjadi dewasa ¬ kap. Yakis bayi kehilangan khusus real ¬ keadaan baik dengan ibu mereka karena mereka tumbuh menjadi dewasa, dan tentu saja mereka tidak tahu ayah. Di sisi lain, chimpanzees, yang kami telah disamakan dengan Ramapithecine tingkat perilaku, dapat mengungkapkan sebagian perpanjangan dari pola perilaku bayi menjadi dewasa dalam nyata perkembangan incest prohibitions
yang mencegah dari laki-laki dewasa mencoba hubungan seksual dengan ibu sendiri. Selanjutnya pengembangan memori di antara kami sendiri leluhur hominid menghasilkan masih lebih besar dari proyeksi sikap selama belajar anak menjadi dewasa.
Lambat tapi yang penting evolusi pembicaraan
antara hominids juga cenderung untuk mempromosikan conventionalization dari pola perilaku yang dipelajari, tidak hanya melalui pertukaran ide, tetapi juga oleh penemuan tetap label untuk individu tertentu. Label seperti "ibu", "ayah," "saudara perempuan", dan "saudara" yang belajar di masa yang akan terus
digunakan untuk dewasa, dan dengan demikian mengabadikan menjadi dewasa yang pola kasih sayang, kepercayaan, dan saling kewajiban yang diperoleh selama masa kanak-kanak. Sebagai orang dewasa, manusia laki-laki dan perempuan terus mempedomani aturan sosial yang dipelajari di masa kanak-kanak. Kontras dengan kebanyakan nonhuman uskup besar masyarakat, di mana tua incapacitates indi ¬ viduals dalam perjuangan untuk dominasi dan sub ¬ misi, manusia ayah Mei mempertahankan Loy ¬ alty dari anak-anaknya sakit dan bahkan di usia tua.
Pola dan kewajiban mengembangkan kasih antara saudara kandung serta antara orang tua dan anak-anak, dan saudara-saudaranya tumbuh hingga menikah dan membentuk keluarga sendiri, sehingga akhirnya seluruh masyarakat akan cenderung menjadi interlaced dengan pola belajar peran, sikap, dan status. Oleh karena itu seorang laki-laki dari saudara laki-laki menjadi, dalam waktu tertentu saja, seorang paman kepada anak-anak, saudaranya dan anak-anak menjadi anak-anak sendiri 'cousins. Dengan cara ini tidak hanya itu pasangan-bonding memproduksi keluarga, namun di tingkat manusia ini juga menghasilkan konsep kekerabatan. Secara efektif digantikan oleh intragroup konflik intragroup penggantian pola kerjasama yang saling kewajiban untuk dominasi dan ketundukan sebagai dasar dari ketertiban sosial. Selanjutnya setiap hominid lahir ke dalam grup yang didapat saat lahir serangkaian hak dan obliga ¬ keadaan baik, yang diakui ceruk secara terpadu sistem sosial. Kekerabatan evolusioner mempunyai nilai karena diganti prinsip dominasi, berakar dalam konflik dengan ascriptive sistem sosial yang telah memastikan agar oleh pola perilaku belajar-peraturan dan kewajiban tersirat dalam hubungan kekerabatan-diperoleh saat lahir, sehingga transformasi yang hominid band menjadi lebih efisien tim bekerja individu yang menghadapi masalah hidup sebagai patungan. Kekerabatan adalah budaya inovasi yang mempunyai nilai hidup, dan kelompok orang-orang pertama yang efisien dikembangkan sistem kekerabatan yang unggul atas kesempatan hidup yang lagged dalam hal ini.
Diselenggarakan bersama oleh jaringan kekerabatan priv ¬
ileges dan kewajiban, sebelumnya manusia melihat kekerabatan masyarakat tidak seperti yang kita lihat. Kekerabatan dalam masyarakat berbasis kekerabatan tidak hanya satu kategori sosial perilaku dalam arti politik, agama, atau hubungan ekonomi. Sedemikian sehingga ¬ cieties kekerabatan menunjukkan hampir setiap jenis hubungan dikenal kepada masyarakat. Itu meliputi mereka semua. Dalam masyarakat seperti itu adalah ikatan kekerabatan berpendapat bahwa semua anggota masyarakat untuk ¬ gether, dan menetapkan mereka dan perilaku nyata ¬ tionships sepenuhnya. Tradisional kekerabatan obli ¬ gations dan hak menentukan batas semua kemungkinan hubungan antara anggota masyarakat.
Hanya ketika masyarakat menjadi lebih besar kita mulai menemukan khusus lembaga politik yang tidak merupakan bagian integral dari sistem kekerabatan. POLITIK LEMBAGA mungkin des ¬ cribed sebagai proses sosial yang telah disetujui untuk de ¬ fining dengan norma-norma yang diterima tersebut, untuk mengalokasikan kantor kepemimpinan, untuk menetap dis ¬ putes, dan untuk mengorganisir kelompok pertahanan. Manusia dalam masyarakat yang sebelumnya sistem kekerabatan mengambil segala ini. Hanya pada tingkat sosial tingkat kompleksitas yang berbeda nonkinship lembaga politik mulai muncul. Pemerintah secara konsekuen unheralded muncul sebagai kelompok-kelompok lokal mulai tumbuh di kompleksitas, awalnya melalui elaborasi dari sistem kekerabatan, dan hanya kemudian oleh pembukaan dari lembaga politik terpisah dari struktur kekerabatan ¬ ture.
BAND Societies
Dengan demikian, analogi uskup besar dari masyarakat, bukti Archeology, dan ilmu sur ¬ viving berburu dan mengumpulkan semua masyarakat sug ¬ gest bahwa manusia purba nenek moyang hominid tinggal di komunitas kecil territorially berdasarkan lama sebelum mereka telah berkembang ke Horno sapiens status. Hominid awal teritorial ini dikenal sebagai kelompok Bands, untuk membedakan mereka dari pasukan nonhuman uskup besar dari mereka yang
mungkin berkembang dan dari mereka yang berbeda karena kebiasaan hominid dari pasangan-bonding dan keluarga yang dihasilkan dari pola sosial orga ¬ nization melibatkan berbagi makanan dan pembagian tenaga kerja antara jenis kelamin.
Pada tingkat ini sederhana kecil manusia band 'mewakili masing-masing berbeda Mendelian penduduk, terutama yang kawin sedarah dan terpencil maka sebagian besar dari sudut pandang genetika, seperti nonhuman uskup besar pasukan. Kawin sedarah besar seperti hominid teritorial kelompok dikenal sebagai ENDOGAMOUS diuji.
Setiap endogamous band otonom di wilayah sendiri, dan roams sekitar wilayah ini kurang lebih berkesinambungan dalam pencarian makanan. Meskipun dibagi dalam keluarga, masing-masing individu yang terhubung ke setiap individu oleh kekeluargaan dan obligasi dari dekat persahabatan. Prinsip incest biasanya beroperasi ke
mencegah hubungan seksual antara anggota keluarga yang sama unit, tetapi kenyataan yang sederhana akan menyebabkan jarak dari anggota band-band ini untuk menemukan jodoh dari keluarga lain di dalam band.
Band tipe masyarakat yang digambarkan sebagai aceph ¬ alous.2 Mereka umumnya kekurangan headmen atau mengarah ¬ ers. Seseorang yang menunjukkan bakat tertentu dapat mendengarkan dengan hormat, tetapi setiap orang dewasa laki-laki, sebagai kepala keluarga nuklir sendiri, adalah Essen ¬ tially gratis agen di kanan sendiri, hanya terikat dengan tradisi budaya yang mewajibkan dia untuk menunjukkan kehilangan kepercayaan dan kesetiaan kepada fellows, har_ ticularly untuk orang-orang yang senior kepadanya dalam sistem kekerabatan. Tidak ada rasa authorita ¬ tive kuasa dalam band jenis masyarakat dalam arti bahwa otoritas implies paksaan dalam kuasa diberikan oleh setiap anggota kelompok.
'Band jenis masyarakat yang dibahas lebih lanjut dalam Elman R. Service, primitif Organisasi Sosial (New York: Ran ¬ dom House, Inc, 1971).
zSee Morton H. Fried, The Evolution of Political Society (New York: Random House, Inc, 1967), pada "equalitarian masyarakat."
M € G. 22 NioNHt! CtF ..- M N
e-TP 00PS
Bands
a. Nonhuman uskup besar yang menempati pasukan khusus sendiri ter ¬ ritory. Order dikelola pri ¬ marily melalui dominasi dan ketundukan. Tidak ada makanan bersama.
b. Band endogamous manusia yang menempati wilayah sendiri tetapi dibezakan oleh pasangan ¬ bonding hubungan yang di ¬ volve makanan bersama. Urutan dikelola oleh prinsipnya kin ¬ kapal yang timbul dari ikatan keluarga unit.
a. Formerly Endogamous Band Colonizes Territory tetangga. Hal berhuni berlebih-lebihan atau serupa keadaan menyebabkan emigran ke grup menjajah wilayah sekitarnya, membuat yang terpisah, otonom band.
b.
b. Dua Intermarrying Exogamous Bands Dibentuk. Ex ¬ ogamy berkembang, mungkin sebagai perpanjangan dari incest prinsip, dan aturan perkawinan terus mengekang ¬ memaksa budaya, bahasa, dan kesatuan genetik dari total masyarakat generasi setelah generasi. Diagram ini illus ¬ trates hubungan antara dua exogamous band, masing-masing politik otonom di masing-masing wilayah.
c.
c. Bekerja sama Exogamous Bands. Exogamous band memiliki potensi hidup yang lebih besar daripada endogamous band dalam acara konflik atas teritorial occupancy. The con ¬ sciousness dari budaya dan kesatuan genetika akan menyebabkan exogamous band untuk bekerja sama ketika terancam oleh intrusi asing.
d.
d. (Kiri) Masyarakat Suku dengan Pusat Koordinasi Au ¬ thority. (Kanan) Exogamous Bands mengandalkan Sponta ¬ neous tanpa Kerjasama Badan Pusat politik. Masyarakat suku, dengan suku dewan, chieftains, atau lainnya coordi ¬ nating personil, juga memiliki potensi hidup yang lebih besar daripada kelompok exogamous band, yang, walaupun bersedia untuk bekerjasama dengan satu sama lain untuk hidup bersama, kurangnya mekanisme koordinasi yang efisien.
Dengan meningkatnya kompleksitas sosial beberapa bentuk kepemimpinan berwibawa masyarakat menjadi penting. Dalam kekerabatan masyarakat berbasis masyarakat "headmen" biasanya akan ditunjuk dari salah satu keluarga yang lebih dihormati, kemungkinan di dasar turun temurun. Digambarkan di atas adalah desa headmen dari Taw-an District of Borneo Utara. (Courtesy of Borneo Utara Layanan Informasi).
tua-tua mungkin atau tidak memilih tetap chief ¬ tain, dan mungkin belum tentu mempunyai kekuatan paksaan, tetapi meskipun dalam fungsi konsultatif sahaja, setelah beberapa jenis supraband coor ¬ dinating mekanisme yang ada, kami memiliki politi ¬ Cally berpadu suku masyarakat.
Paling awal suku dewan masih berakar dalam konsep kekerabatan. Dengan demikian di antara suku-suku yang Rhodesia bantu, semua familistic dasarnya adalah pemerintah di tingkat desa. Ketika sebuah isu yang akan memutuskan, pada laki-laki kepala keluarga akan bertemu untuk membicarakan hal ini di bawah
yang "kedudukan ketua" dari demang, posisi yang biasanya turun temurun, yang setara dengan marga atau keturunan utama. Semua deci ¬ sions diambil unanimously_ Ide untuk mayoritas kelompok minoritas sulking yang mendominasi adalah menyenangkan dalam ketat kin grup. Perdebatan seperti itu dapat berlangsung selama beberapa hari, tetapi pada akhirnya, sebagai bentuk dari pertemuan menjadi lebih jelas, yang akhirnya minoritas akan menarik semua keberatan mereka dan mungkin juga telah setuju dengan mayoritas elemen, baik meletakkan sebagai wajah mungkin. Dalam perdebatan, namun
stitutes yang sangat berat badan lebih dari satu endogamous band, yang kedua di ¬ evitably ambruk exogamous band. Hanya beberapa jenis endogamous band-masyarakat yang bertahan hidup dalam abad ini, dan ini kebanyakan berada, seperti Yahgan, lebih jauh di pelosok bumi.
Marga
Sewaktu waktu exogamous band cenderung menekankan kekerabatan daripada konsep persentuhan. Territoriality utama adalah princi ¬ ple belakang band, walaupun internal co ¬ operasi adalah memastikan oleh kekerabatan, tetapi regu ¬ larization dari perkawinan interband akan menekankan peran kekerabatan ke titik bahwa konsep kekerabatan yang akhirnya menggantikan territo ¬ riality dalam arti sosial. Bila hal ini terjadi pada anggota dari sebuah band exogamous akan berpikir mereka sendiri sebagai anggota tertentu dan identitas kelompok kekerabatan, seperti marga.
Dengan definisi, sebuah Clan adalah sekelompok orang yang percaya diri untuk terikat satu sama lain oleh timbal hak dan kewajiban berdasarkan keturunan dari leluhur umum, nyata atau imajiner. Marga selalu ada distin ¬ guishing nama, dan ini mungkin merupakan nama yang patriarkhal pahlawan-pendiri. Oleh karena itu, jika seorang lelaki bernama Donald yang memimpin keluarganya untuk menyelesaikan sebuah wilayah baru, kemungkinan-seperti pada Highlands dari Skotlandia-keturunan ini disebut pahlawan-bapak Donald Mei menyerumereka ¬ selves "macdonalds," untuk Mac berarti hanya "cucu", sebuah istilah yang juga oleh implica ¬ tion-grandsons termasuk besar dan semua subse ¬ quent keturunan. Irlandia O 'memiliki arti yang sama, sebuah "O'Reilly" menjadi "cucu" (atau keturunan) dari clanfounder besar, pemimpin yang pahlawan ¬ Reilly. Semua anggota band itu mungkin menyebut diri "MacDon ¬ alds" atau "O'Reillys" sebagai kasus mungkin.
Tentunya dalam waktu yang macdonalds mungkin mereka baru berhasil di lokasi dan prolif ¬ erate, mengirimkan off koloni baru untuk menetap segar
tanah berbatasan dengan wilayah induk. Hanya ada satu atau dua keluarga yang mungkin terlibat, dan jika pemimpin ini adalah koloni bernama "Millan," Mei generasi berikut yang menyebut diri "MacMillans." Karena MacMillans dan macdonalds berbagi warisan yang sama dari cerita rakyat, bahasa, dan budaya, dan karena mereka akan ingat bahwa mereka terkait satu sama lain, mereka akan merasa aman satu sama lain ketika mereka bertemu di daerah perbatasan, dan mungkin negosiasi exogamously, Macdonald Macmillan pria menikahi wanita dan sebaliknya. Banyak variasi pada pola ini hipotesis nama marga dan organisasi mungkin timbul, seperti totemistic sistem dijelaskan dalam bab berikut, tetapi prinsip yang sama.
Suku
Konsep dari suku adalah salah satu mata pelajaran dalam sengketa anthropology.3 Beberapa penulis menerima sekelompok intermarrying exoga ¬ mous band sebagai suku, asalkan yang mem ¬ bers berpikir mereka sendiri sebagai sebuah kelompok yang berhubungan dengan sanak saudara dan berbagi Common bahasa, budaya, dan wilayah yang berbatasan ditetapkan. Mereka menekankan bahwa band pada dasarnya adalah sebuah teritorial unit, sedangkan prinsip dari suku yang berakar di prin ¬ ciple dari kekerabatan daripada yang teritori. It would seem wajar, namun, untuk dis ¬ tinguish antara band dan suku yang lebih jelas daripada ini, oleh enquiring ke taraf apa gelar politik integrasi Mei ada. Bands are dasarnya unit otonom, tetapi dalam arti politik yang selalu memiliki beberapa suku estab ¬ lished rumus untuk melakukan koordinasi yang benar-benar ¬ tionship antara anggota marga atau kekerabatan unit. Ketika territorially memencil marga yang bekerja sama secara teratur membuat marga dewan untuk melakukan beberapa jenis berpadu persatuan antara wilayah atau marga yang berbeda, mereka menjadi suku. Seperti dewan klan atau suku
Fried 3, hal. 154 f.
etnis yang berbeda dengan jenis gene renang, dan re ¬ garding semua anggotanya sebagai kinsmen yang berbicara bahasa yang sama dan berbagi Common cul ¬ tural, sejarah, linguistik dan warisan.
Oleh karena itu pemerintah nasional di awal sejarah Eropa yang umumnya telah berakar di pemukiman kolektif desa, yang terdiri dari awalnya ulang ¬ lated grup keluarga, anggota yang dimiliki tanah communally. Hastings kota di Inggris, misalnya, telah origi ¬ nally disebut Haest Inga-Inga yang cukup berarti atau keturunan Haest. Pendidikan kepala keluarga di setiap desa yang dianggap sebagai sama, tetapi kepala desa yang biasanya dipilih untuk hidup layak di antara para anggota satu keluarga yang dianggap sebagai senior ke yang lain. Pendidikan kepala keluarga kemudian dikumpulkan setelah bekerja setiap hari untuk membicarakan acara hari, di bawah kedudukan ketua dari demang. Ketika sebuah suku keputusan harus dibuat, maka kepala suku dari masing-masing desa yang akan menghadiri sidang suku di mana dia mewakili his kinsmen di bawah kedudukan ketua suku kepala suku yang ,4 Pada waktu tertentu saja, sebagai unit politik yang lebih besar datang ke dalam ini, sistem ini dasar kekerabatan yang menjadi perwakilan menjadi tiga tingkat struktur politik yang terdiri dari seorang pemimpin nasional atau turun temurun Raja; sebuah Dewan o, f Nobles mewakili lokal chieftains suku atau marga yang secara berkala bertemu dengan raja sebagai penasihat tubuh, dan Gen ¬ eral Majelis semua orang dewasa yang freemen, sebagai kepala keluarga, yang berhak untuk berkonsultasi tentang hal-hal penting. Ini adalah sistem kuno masih tercermin dalam British sistem seorang Raja; sebuah rumah tuhan, yang terdiri dari turun temurun nobles; dan House of Commons, mewakili freemen_ Hanya pada cen ¬ tury adalah perwakilan politik di Inggris diperluas untuk perempuan dan lainnya orang dewasa yang tidak kepala keluarga.
'Lihat juga Paulus Kirchoff, "Prinsip yang Clanship Asasi Manusia di Masyarakat," dalam MF Fried (ed.), dalam pembacaan An ¬ thropology, Vol. II (New York: Thomas 1 '. Crowell Com ¬ pany, 1968).
Adalah penting bahwa Inggris kata raja berasal dari Anglo-Saxon cyning, secara harfiah berarti "man of kin", dalam arti dari purest keturunan dari suku asli pendiri dan karenanya "ayah" yang hidup dari keluarga keturunan . Ketika sebuah warisan bangsawan dan royalti emerge kita berbicara dari ually rit ¬ bertingkat masyarakat, turun temurun 5 untuk posisi kepemimpinan selalu cenderung dikuatkan oleh upacara ritual dan sering juga oleh magi ¬ coreligious sanksi. Raja-raja akan bermahkota dengan khidmat dan upacara korban dapat ditawarkan kepada kerajaan leluhur. Keberadaan seperti upacara stratifikasi dalam masyarakat suku tidak selalu berarti bahwa kantor turun temurun ¬ pemegang otoritas latihan acak. Raja-raja tersebut belum tentu "orang-orang yang lainnya agar peo ¬ ple sekitar," seperti anak sekolah Amerika sekali kepada penulis. Sebaliknya, raja-raja reigned tradisional daripada memerintah. Sebagai simbol dari suku darah dan kesatuan nasional, kekuasaan raja-raja biasanya sangat circumscribed oleh adat. Sedangkan kekerabatan tetap menjadi 'dasar masyarakat, tidak ada raja Mei menentukan keputusan apapun pada kinsmen yang dapat dianggap sebagai tidak adil sesuai dengan tradisi dan dictates dari kebudayaan nasional. Sebelum kedatangan feodal ¬ ism, raja adalah customarily mengasihi dan revered sebagai simbol dari persatuan bangsa-keluarga, masyarakat merasa bahwa milik raja-raja mereka, daripada yang sebaliknya.
Prinsip The Power of paksaan
Dalam berbagai sistem sosial yang sampai saat ini kami telah dijelaskan, mulai dari band-band suku dan organisasi nasional, kekerabatan yang telah dominan di sekitar prinsip hubungan sosial yang akan disusun. Karena yang relatif sederhana dari masyarakat kita yang ada de ¬ scribed, masing-masing band, suku, atau anggota suku ini dapat memainkan peran yang cukup signifikan
SSee JG Fra2er, The Magical Asal Raja-Raja (London: Dawson dari menyelumbungi Mall, 1968), untuk membaca lebih lanjut tentang asal usul martabat raja.
Fig. 24 THE TMAL COUI `~-CP6 ..
organisasi politik dalam masyarakat berbasis kekerabatan fre ¬ qUendy mengambil bentuk dewan kepala keluarga atau kaum tua-tua, status posisi yang ascribed oleh kelahiran dan perkawinan
4
0 = 0 saya
r__1
p IL O O O O
yang lebih senior, berpengalaman, dan dihormati Mei mengayun kepala keluarga lebih berpengaruh daripada yang lebih muda, dan lebih sering orators memiliki banyak pengaruh. Ketika sebuah desa unani ¬ mous pendapat telah tercapai, maka kepala desa dan beberapa desa lainnya akan menghadiri pertemuan serupa dari perwakilan desa di Rumah dari hulubalang, dan proses ini diulang. Akhirnya pemimpin-pemimpin di kabupaten cenderung ¬ pertemuan di kediaman kepala suku dari suku, ketika akhir dan mengikat adalah resolusi lulus.
Suku masyarakat dapat diklasifikasikan menurut dua prinsip utama. Cara yang jelas dalam suatu suku yang dapat datang ke dalam keberadaannya oleh peningkatan jumlah penduduk, dengan hasil ex ¬ pansion di daerah pemukiman, yang menyebabkan satu band tumbuh menjadi jumlah exoga ¬ mous band. Seperti ini menjadi terpisah dalam termarrying ¬ marga, dihubungkan oleh sebuah suku dewan marga dan kemungkinan pemimpin-pemimpin suku oleh kepala suku, kami telah memiliki apa yang disebut klasik seg ¬ mentary-suku yang telah datang ke dalam exis ¬ tence klasik dalam pola nomor dan perluasan wilayah, sehingga dalam segmen ¬ tation yang asli ke dalam grup sejumlah intermarrying marga.
Seperti klasik berupa ruas suku sering equalitarian wajar karena semua anggota berbagi Common leluhur, tapi bisa juga suku
hasil dari berbagai tindakan percampuran peo ¬ ples. J populasi Mei tetangga merebut dan memperluas wilayah tanpa menghilangkan yang asli penduduk. Jika menang bawahannya suku bangsa yang dikalahkan, memperlakukan mereka sebagai budak atau inferiors dan menolak untuk kawin dengan mereka, situasi yang baru akan dikembangkan. Meskipun diakui yang menaklukkan peo ¬ ple sebagai marga rendah di bawah mereka politik dia ¬ gemony, yang menang mungkin masih menyimpan de ¬ scendants dari menaklukkan marga dalam penaklukan. Seperti unit, yang terdiri dari politi ¬ Cally jumplang agglomeration berbagai nonin ¬ termarrying marga dari beragam asal dan di ¬ ayat status, berbeda dgn nyata dari klasik berupa ruas suku, dan dapat digambarkan sebagai gabungan suku masyarakat.
Bangsa
Itulah tekanan penduduk pada sumber ¬ ulang dan wilayah, yang tidak hanya ada band jenis masyarakat diberikan jalan ke suku, tetapi beberapa suku yang ada dan berkembang di dikalikan biaya orang lain, atau dispersing menyerap sisa-sisa dari orang-orang yang kurang kuat. Dalam kasus yang diperbesar dan lebih banyak penduduk Mei buyar sendiri menjadi subdivided ke sejumlah terkait dan bekerja sama kesukuan unit. Eksternal di mana tekanan memperkuat internal obligasi kesetiaan untuk memastikan kerjasama di bawah prestasi yang kekerabatan pemimpin umum, istilah bangsa mungkin diterapkan.
Hubungan antara suku bangsa dan bahkan terlihat etymologically, untuk suku kata kami datang kepada kami dari bahasa Latin tribus, menunjukkan ketiga bagian dari bangsa. Bangsa mencerminkan kekerabatan ideal di maksimumnya politi ¬ cal teritorial dan ekstensi. Meskipun efektif pemerintah dapat menjadi birokrasi ketimbang turun temurun di prinsip dan bangsa dapat dilaksanakan bersama oleh berbagai ekonomi, politik, sosial dan bentuk, dalam pikiran-nya negara yang masih dasarnya adalah bangsa yang besar kelompok kekerabatan, mewakili tertentu
tradisional di sekitar ascribed respon ¬ sibilities kerjasama dari kekerabatan. Hanya dengan demikian masyarakat menjadi lebih kompleks dan kekerabatan struktur mulai melakukan mogok yang lama uskup besar prinsip dominasi dan submis ¬ Sion, hari ini dikenal sebagai prestasi kompetitif, mulai meremehkan prinsip ascription peran yang ditentukan oleh urutan lahir. Sebagai lembaga politik baru mantap menggantikan ikatan kekerabatan, manusia mulai memuja intragroup dan bahkan individu kompetitif ¬ ness. Dgn tdk sabar berpartisipasi dalam pertarungan untuk memenangkan pemilihan presiden yang aman atau ke tempat duduk di dalam Politbiro fellows persaingan dengan mereka, mereka meninggalkan usia tua-prinsip kekerabatan ascription dalam nikmat dari pola com ¬ petitive mobilitas sosial dan partai politik mengingatkan dgn aneh yakis dari pasukan.
Dengan demikian, ada yang datang saat posisi ¬ keadaan baik politik dan administrasi ¬ sibility respon yang dikuatkan oleh hak untuk memaksa-yang pada gilirannya dapat dikuatkan dengan alat untuk memaksa, dalam bentuk tubuh bersenjata retainers. Dalam kasus tersebut, kantor tinggi akan datang ¬ berlaku hadiah untuk sukses com ¬ Dalam petitor.s tempat kekerabatan pemimpin yang exer ¬ cise dibatasi oleh otoritas adat berdasarkan persetujuan dari para anggota masyarakat, kami menemukan orang-orang yang Berkaitan kantor publik sebagai rampasan harus diamankan untuk kepentingan pribadi kembali ¬ wards yang dapat membawa mereka. Mengenai kewenangan sebagai milik pribadi mereka, mereka mungkin berusaha untuk mempertahankan posisi mereka oleh kekerasan atau dengan sengaja manipulasi opini publik. Kekerabatan dalam masyarakat masih tetap penting dalam unsur utama, tatap muka loyalties, dan pemandangan yang lama marga dan suku chieftainships Mei hidup. Namun dalam kenyataannya struktur kekerabatan suku yang telah diganti dengan sistem daya saing, dan princi ¬ ples dari kekerasan dan manipulasi telah kembali ¬
6Service, hal. 133 f.
meletakkan prmcipies ui aZ1 .. L1Y «W.. - ",, U, c (Semua subordinat kantor-earldoms, chancell kapal, dan bahkan posisi yang vill-lurah yang akan datang yang dialokasikan untuk mendukung v sukses calon untuk supre kantor, sebagai salah satu imbalan untuk setiap 1 alty .
Ketika besar terpusat paksaan po diberikan adalah pemimpin dalam kehidupan masyarakat, kita dari sentralisasi chieftainships sp. Sementara leac dari Yahgan, Arunta, Pygmy, dan Nuer socie hanya memiliki penasihat daya, dan Kazak LCL yang berasal dari keluarga White Bone, 7 - memiliki sedikit atau tidak ada paksaan kewenangan, seorang kepala suku centrali seperti Baganda raja "nil bukan daripada "reigns." Semua daya yang diberikan secara langsung dari satu orang yang akan, bagaimanapun ai trary, akan berlaku.
Dalam arti, perkembangan ini merupakan awal dari birokrasi, dan sen ization kekuasaan di tangan satu bahasa memiliki beberapa keunggulan organisasi c yang lama pola desa headmen, elec chieftains clan atau turun temurun, dan rel sentative suku dewan. Keputusan dapat dibuat incisively dan enforced ruthlessly. Si oleh sifat struktur kuasa, maka preme officeholder akan cenderung seorang ski dalam realitas politik, kemungkinan bahwa ia membuat cukup efektif adalah pemimpin mo (ately tinggi. Karena itu, sentralisasi ch tainships, di mana satu individu atau f ily kontrol efektif janji posisi subordinat, muncul sebagai kebutuhan evolutioc dimanapun mereka ada yang lebih besar dibandingkan dengan nilai surv tradisional suku dan suku yang menyerahi Keterangan hanya terbatas daya: pemimpin mereka. conditior yang paling baik seperti pembangunan adalah kemungkinan untuk menjadi soc troubled oleh konstan peperangan yang ma3 dipaksa untuk menerima sangat sentralistik sys sosial kontrol untuk bertahan.
Banyak yang cukup besar dan kompleks masyarakat tidak terkena ancaman perang ada 'C. Daryll Forde, Habitat, Ekonomi dan Masyarakat (York: EP Dutton & Co, Inc, 1963), hal 332.
Bahkan industri besar masyarakat Mei melestarikan unifying konsep "nanonhooo, sehingga banyak mug A6 anggota percaya diri untuk bersama-sama dihubungkan oleh umum obligasi bahasa, budaya, dan kekerabatan. Sentimen yang dihasilkan persatuan dan kerjasama akan dapat menjadi sumber banyak kekuasaan politik, seperti yang disaksikan dalam abad ini dalam kasus Jerman. Dilihat dari Berliners pada Kurfurstendamm, Jerman Barat. (Courtesy dari Pusat Informasi Jerman, Bonn.)
dalam masyarakat, dan adat kebiasaan dan memerintah selama perilaku. Keputusan mak ¬ ing adalah dgn keras dikontrol dalam batas-batas tradisional dan konsep membuat undang-undang, hukum atau pemberian, dalam arti bahwa ini menunjukkan yang delib ¬ erate penciptaan prinsip-prinsip perilaku baru, pada umumnya tidak diketahui.
Tetapi karena masyarakat menjadi lebih besar dan lebih mmplex, rivalries dapat mengembangkan kin ¬ kapal antara kelompok yang mengancam untuk mengganggu com ¬ munity. J demang atau kepala suku yang diwajibkan untuk bergantung pada kewenangan untuk kustom dan $ e disputants dari keinginan untuk menuruti adat
mungkin tidak dapat mencegah internecine strug melanggar ¬ gle dari luar, sesuatu yang jarang jika pernah terjadi dalam masyarakat compris ¬ ing hanya 20 atau 30 orang. Berikut ini di ¬ evitably bahwa pemimpin cenderung untuk memperoleh, melalui persetujuan umum, gelar dari authori ¬ tative daya. Ini berarti bila moral rayu gagal, mereka dapat menggunakan bentuk-bentuk lain dari pengekangan, termasuk kemungkinan fisik antar ¬ vention ke mempersinggahkan sengketa, dengan penuh berat izin publik di belakang mereka.
Pada awal Homo sapiens masyarakat, dan untuk sebagian besar sejarah manusia, masyarakat bergulir
dari Inggris, Raja dari Franc, atau King of the Saxons. Feodalisme memperkenalkan gagasan tanah dan wilayah sebagai unifying prin ¬ ciple, penggantian territoriality untuk princi ¬ ple dari kekerabatan. Setelah pengenalan feu ¬ dalism ini raja menjadi Raja Inggris, Raja Perancis, dan Raja Saxony, mengklaim kepemilikan tanah dan orang-orang yang lahir pada tanah. Masyarakat umum yang tidak dapat "tribesmen" dan menjadi "mata pelajaran." Dalam arti kontemporer kita na ¬ tionality hukum feodal masih mencerminkan konsep subjek yang milik raja atau pemerintah tanah di mana dia dilahirkan. Seorang lelaki atau perempuan yang lahir di tanah Inggris saat ini "British" tidak peduli apa kewarganegaraan orangtuanya itu, dan yang sama yang terjadi di Amerika. Anak "milik" kepada otoritas pemerintahan Inggris atau Amerika tanpa dari status kekerabatan atau ras orangtuanya. Seperti prinsip-prinsip untuk menentukan kebangsaan tidak mungkin dalam masyarakat suku-atau bahkan di Yunani kuno atau Republican Roma-mana keanggotaan kota-negara yang berdasarkan kekerabatan, bukan pada kecelakaan telah lahir sesuai batas wilayah.
Sebagai kuasa dan kontrol atas tanah dan orang-orang yang menggantikan prinsip kekerabatan di feodal sehingga ¬ cieties, lembaga pemerintah identifiably menjadi terpisah dari sisa struktur sosial. Ashanti feodal dalam kerajaan Barat Afrika kami mungkin mengidentifikasi semua yang ditemukan di kantor-kantor utama yang modern birokrasi, termasuk ¬ ing sebuah mesin administratif dengan pendapatan biasa-mengumpulkan personil, hukum, pengadilan, tentara, dan bendahara, masing-masing beroperasi sebagai aspek terpisah dari satu pemerintah pusat yang legitimized oleh lambang suci "kotoran", di mana jiwa dari kerajaan ances ¬ tors itu seharusnya berada.
Feodalisme akibatnya memperkenalkan gagasan politik negara sebagai badan hukum yang terpisah
bercerai dari kekerabatan. Negara pada dasarnya adalah sebuah kesatuan politik dan ekonomi, bukan sebuah kelompok kekerabatan. Ia merupakan pemimpin politik kelompok yang pada dasarnya berbeda dari orang-orang, maka antagonisme dirasakan oleh peas ¬ antry terhadap pemerintah dan pajak co] _ lectors, yang dianggap sebagai memanfaatkan aliens, ex ¬ ternal ke lokal kindreds. Sedangkan pusat chieftains feodal dan sukses tuhan mungkin masih surround diri dengan aura legitimasi dari silsilah yang berasal dari klaim, gagasan politik negara yang lebih sulit untuk mendamaikan dengan gagasan dari "orang." Memang, baru polarisasi mengembangkan konsep, portraying negara sebagai bertentangan dengan individ ¬ ual. Government becomes so depersonalized that it is often seen as a tool of oppression, and not infrequently those who control the government may wage war against the older kinship groupings or even against the very institution of the family, seeing these as rivals for the loyalty and control of the citizen.
The concept of the state is thus subtly different from that of the nation. The term state implies authoritative political institutions, while the concept of nation implies a society in which the members conceive of themselves as being linked by the common possession of a shared cultural, linguistic, and genetic heri¬tage. Nations still, consequently, comprise a distinct people, bound together more by a sense of ethnic identity than by subordination to a single political ruler or system. By contrast, the subjects or citizens of a state may even speak different languages, as did the citizens of the Austro-Hungarian empire, or belong to differ¬ent races, as do the citizens of the United States of America.
Because of their frequent reliance upon military power to maintain their autocratic position, centralized chieftains may find them¬selves in possession of a powerful war machine and may be tempted to establish CONQUEST STATES by the subordination of less organized neighbors. Such agglomerations of diverse
vealed the ability to live contentedly under clan councils and clan chieftains without ever appointing any full-time authoritative officers. In this way, the Saxons of ancient Europe lived without kings until they were finally conquered by the renowned "central chieftain" Charle¬magne. But whenever there is a degree of po¬litical turbulence, with pressure being exerted from outside groups, or whenever migration and war require an effective coordinating sys¬tem, social power tends to become authorita¬tively vested in a single individual or lineage. Although in tribal societies the kingship may remain elective within the royal family, cen¬tralized chieftainships usually become strictly hereditary in the mode of succession. Indeed the principle of PRIMOGENITURE-the inheri¬tance of an office by the eldest son or daughter -may often arise as a device intended to avoid internecine dispute following the death of the previous officeholder.
Centralized chieftainships are in effect pyr¬amidal or cone-shaped hierarchical structures, in which the ruler occupies the key position with the power to direct the life of the community in an arbitrary fashion, although in reality such power is frequently limited by traditional moral restraints or by the existence of subordi¬nate pressure groups. In this sense they differ from contemporary totalitarian regimes only by the fact that the administration remains essentially personal because of the smaller scale of society. The problems involved in super¬vising a large and rambling empire are consid¬erable, and history records many examples of chieftainships which rose and fell in the life¬time of a single individual leader because of an overextension of the state beyond the limits that a single ruler can effectively control.
chieftain no longer depends for his authority purely upon tribal ties of kinship with the persons over whom he rules. Indeed, the feudal king no longer "reigns" but now "rules" with largely arbitrary authority. Claiming owner¬ship of the land and all who are born upon it, he allocates the control of geographical dis¬tricts to subordinate officers who remain solely responsible to his authority.
The contrast between a kinship or tribal society and a feudal society is amply illustrated in the history of Europe. Prior to the rise of feudalism, northern Europe remained essen¬tially tribal, each people having its own king or kin-father, who was designated as the King
Feudalisna
1~EUDALISNt represents the principle of the centralized chieftainship at its most highly organized but still personal and prebureau¬aatic level. In a feudal society the centralized
Feudalism combines the authoritative power of a central¬ized chieftainship with a bureaucratic system of subordi¬nate chieftains or territorial, overlords. The castle of AI¬rnourol in Portugal stands as an impressive reminder of the responsibility for defense that attached to feudal office. (Courtesy of the Director-General of Information, Portugal.)
force may marry the heiress to the throne of that country so that his heirs will be legitimate heirs in the eyes of the people. Furthermore, the careful ruler will maintain law and order, suppress criminals, and uphold the traditional mores of the society so as to win public ap¬proval. Successful international ventures, which raise the nation's self-esteem, will also win public support, and so serve to legitimize the ruler's position.
But there are less constitutional ways in which a ruler or ruling clique can secure its position. Economic control is more subtle than outright military coercion. When the ruling group can monopolize control over the major economic activities, it will be in a position to offer economic rewards for collaboration and penalize noncollaborators by denying them access to the more profitable fields of enter¬prise. Even more insidious is the attempt at mind control. In simpler societies the norms and attitudes of society are transmitted through custom, folklore, and tradition by
word of mouth from generation to generatior but in more complex societies, sentiments am attitudes are largely disseminated through mas media and by way of formal education. Sinc the control of mass media and education fal: within a series of structured and bureaucrat: systems, it is highly susceptible to manipl lation. In totalitarian societies both the ma; media and the educational system are usual government-owned and therefore under dire political control. Through them, even has norms, values, and judgments can be substa: tially remodeled to suit the requirements of f dominant group. It is one of the characteristi of the multiethnic and culturally diverse mo ern political state that the government, fi quently representing the interests of one sc tion of society only, will resort to mind cont: in the attempt to educate all members of so ety to accept the values and goals of the dor nant element-which need not necessarily the majority element. .
Eisenstadt, S. N., 1959, "Primitive Political Systems," American Anthropologist 61:a 219.
Evans-Pritchard, E. E., 1940, The Political System of the Anuak of the Anglo-Egyl Sudan. London: London School of Economics, Monographs on Social Anthropol 4.
, 1948, The Divine Kingship of the Shilluk of the Nilotic Sudan. New 5 Cambridge University Press.
Fortes, M., and E. E. Evans-Pritchard, 1961, African Political Systems. Oxford: Inn tional African Institute.
Fried, M. R., 1967, The Evolution of Political Society. New York: Random House. Krader, L., 1968, The Formation of the State. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall Leach, E. R., 1971, Political Systems of Highland Burma. New York: Humanities 1 Inc.
Lowie, R. H., 1927, The Origin of the State. New York: Russell and Russell. Mair, L., 1962, Primitive Government. Baltimore: Penguin Books, Inc. Ratzenhofer, G., 1893, Wesen und Zweck der Politik, 3 vols. Leipzig: F. A. Broc Verlag.
Schapera, L, 1956, Government and Politics in 7'ribal Societies. London: C. A. W Co., Ltd.
Service, E. R., 1971, Primitive Social Organization. New York: Random House,
ethnic origins are also called PRIMITIVE STATES, the label "primitive" being applied since gov¬ernment is still personalized, not bureaucratic. The Zulu kings of Africa ruled over a large primitive state, and effectively made "Zulus" out of the people they conquered. The Aztecs, by contrast, did not attempt to assimilate their subject tribes but maintairled their hegemony over a multinational or multiethnic state. But such primitive states are usually limited in size and often highly unstable when controlled by the personal abilities of a single centralized chieftain and his henchmen. Long-lasting primitive states consequently tend to develop more complex and professionalized bureau¬cratic systems of government, capable of per¬petuating themselves independently of the life span or genius of the ruler. In such fullfledged BUREAUCRATIC STATES as Ancient Egypt, An¬cient China, or the Austro-Hungarian empire, the bureaucracy usually succeeds in subordi¬nating the central chieftain to the system, and we find ourselves studying the type of central¬ized bureaucratic state system with which we are so familiar in the contemporary Western world.
Although the possession of coercive power is the attribute of government officials from the centralized chieftain to the bureaucratic offi¬cials who direct the modern state, social power which is rooted solely in the use of force is costly in terms of effort and always raises the possibility of reaction and rebellion. Govern¬ment actions which contravene old established norms will certainly provoke hostility among those who are ruled. Those who hold power in such societies will constantly strive to re¬duce their dependence upon coercive power by seeking to constitutionalize their position and so gain the willing cooperation of their sub¬jects. Essential in this process is the need to create an impression Of LEGITIMACY.8
A "legitimate" officeholder, in the final anal¬ysis, is simply one who holds his position with the approval of the members of his society. Kinship certainly provides legitimacy; and a chieftain who annexes a neighboring land by
xGerhard Lenski, Power and Privilege (New York: McGraw-Hill, Inc., 1966), pp. 59 f.
The conquest of one people by another frequently leads to the formation of multiethnic "con¬quest states" where peoples of diverse ethnic, cultural, and lin¬guistic backgrounds are subor¬dinated under a single govern¬ment and are held together by political, and sometimes mili¬tary, means rather than by shared traditions, values, and attitudes. This mosaic wall de¬picts a scene of conflict during Moorish domination of the Iberian Peninsula in Europe. (Courtesy of the Portuguese Director-General of Informa¬tion.)
In nonhuman primate societies, social order is maintained primarily by the threat of physi¬cal coercion. Mothers chide and on occasion smack their infants, and dominant males rely on the threat of violence to control the behav¬ior of subordinate males and females. It is rare that a dominant male baboon or gorilla will be obliged to resort to actual conflict in order to enforce discipline. Once a pattern of domi¬nance has been asserted, it is usually only nec¬essary for the leader of the group to raise his eyes and stare at the peacebreaker to bring the offender to order. If staring does not suffice, the leader may growl or even raise himself in readiness to charge the offender. But though the threat of force is normally adequate, the principle of physical coercion remains.
Primatologists recognize elemental mores in primate societies, and coercion is not neces¬sarily enforced arbitrarily.' Undoubtedly there is a drive to maintain a basic harmony of thought and behavior in such societies, and
11'. Dolhinow, Primate Patterns (New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1972), pp. 369 ff.
once a particular group of males has achieved dominance, they suppress serious squabbling or fighting between members of the group. Social order and group unity are enforced be¬cause no society can afford constant conflict between its members.
In early human societies, however, kinship replaces the threat of conflict as the basis of social order. In small face-to-face societies, such as those of the Yahgan and Pygmies, children are so thoroughly socialized into the traditional patterns of kinship obligation that what we call formal social controls-coercion and the threat of physical force-are generally unnecessary. Instead, informal social controls, resting upon expressions of shame, ridicule, horror, and revulsion, on the one hand, and of approval and admiration on the other, are sufficient to establish a warning atmosphere of social distance between the guilty individual and his kinsmen. Since band membership is for life, few members are prepared to face the hostility and criticism of their kinsmen, and the erring member of a small human band will
normally voluntarily correct his or her behav¬ior in order to regain the approval and good¬will of the group.
In such band-type societies a high degree of social cohesion is inevitable. Lacking deliber¬ately framed laws, the individual roles and statuses-transmitted as custom-are incul¬cated in the minds of all members during the early days of their childhood and are often heavily reinforced by magicoreligious precepts.
Through the intensely personal nature of their interaction, individuals tend to accept their roles in the group without question. Having few ideas or desires other than those which have been transmitted to them in the highly homogeneous culture of the group, they expe¬rience little sense of frustration or of freedorn_ denied. Each individual is permitted to act in whatever ways the culture has taught him to desire, and in the absence of any ideological
Eskimo bands, scattered widely over large expanses of land, are governed only by custom, not by law. Mild disputes are sometimes settled by song contests, in which the disputants vilify and ridicule each other in verse; but more serious disputes between nonkinsmen frequently end in death. (Courtesy of the late R. M. Sharp.)
schisms in his society, the individual seldom conceives of any course of action which his society will not approve. There is consequently relatively little sense of alienation, deprivation, or repression in primitive hunting and gather¬ing communities. When disputes arise between individuals, these can generally be handled by informal social controls. Because of the small¬ness of the group, psychological pressures will generally be effective, and there are seldom any procedures for applying formal social controls. only occasionally, when informal pressure fails to control a psychopathic member, do some groups resort to spontaneous murder. But such action is rare because of the develop¬ment of kinship concepts, and outlawry or expulsion from the group is more common.
abuses and vilifies the other in verse.2 The PUBLIC CONTEST does not purport to solve the dispute with justice, for the participant who insults the other with the greatest dexterity is judged the winner, but there is always the chance that the contest will serve to ease the tensions between the two disputants. The Arunta of Australia similarly encourage public contests between disputants. In their case, the contestants throw spears at each other, in what is normally a harmless ritual performed before the assembled relatives. Blood is seldom drawn, since it is easy to dodge a spear when one knows it is coming, but the contest serves to release tension. In one sense, the custom of the duel, which still persisted in Europe into this century, was another survival-though more deadly-of the ancient tradition of public contest.
Public
In most simple kinship societies there is thus no provision for any formal enforcement of custom, and the simpler human bands have no chiefs authorized to apply force in any form. However, peaceful and cooperative relations are a matter of concern to all members, and when a dispute arises, it is possible that an informal public hearing may be held at which the two opposing individuals publicly state their complaints. Such public hearings can hardly be regarded as trials, since the dispute is regarded essentially as a matter personal to the two contestants and there is no provision for enforcing a decision, even if a judgment were made, except by the power of unanimous social disapproval. Instead, the main function of such hearings is to enable the contestants to verbalize their complaints against each other publicly so as to get the dispute "off their chests.,)
Thus the Eskimoes, like the Icelanders of old, are often invited to settle a dispute in a public song contest, at which each complainant
~-~A...ie.-1 _~:w. ,___
At more complex levels of kinship orga¬nization, the principle of COLLECTIVE RESPON¬SIBILITY usually applies. In such cases the indi¬vidual is not left to defend himself, for since society is now larger and organized into clans or other kinship groupings, all kinsmen are collectively responsible for the protection and good behavior of their relatives. But in addi'¬tion to protecting their kinsmen, the group will also seek to exact vengeance for injuries. This principle of collective responsibility is there¬fore often linked to the BLOOD FEUD,3 a wide¬spread institution among tribal peoples, in¬volving the biblical maxim, "an eye for an eye and a tooth for a tooth." The members of each descent group are expected to revenge any
=Rockwell Kent, N by E (New York: Brewer and Warren, (1930), p. 250.
For a penetrating historical analysis of the blood feud in ancient Europe, see J. T. Rosenthal, "Marriage and the Blood Feud in Heroic Europe," British Journal of Sociology 17:133-143 (1966).
injury done to one of their group, and feuds can develop which continue through the gen¬erations as sons revenge the deaths of their fathers.
There is a very good reason for the kinsman of an injured or murdered man to demand vengeance. In a society in which no man owes any obligation to those who are not his kins¬men, the only bar to widespread murder and pillage is the fear of retaliation. The members of a kin group who do not reialiate when one of their number is victimized will soon get a reputation for being easy victims, and will be ambushed and robbed by rival or alien kin groups with impunity, losing their women and their possessions if not their lives. In such conditions annihilation is the fate of the group which does not retaliate and take vengeance; a reputation for group loyalty and swift venge¬ance has positive survival value in the absence of any system of law enforcement.
But kinship-based societies do not always live in a cauldron of blood feuds. Wherever the blood feud is found, there is usually also a system of traditional composition payments or fines, by payment of which the danger of a blood feud may be avoided. Where physical assault is involved, such composition payments are usually referred to by anthropologists as WERGILD. Collective responsibility combined with the principle of the blood feud therefore means that when a man is injured, his relatives will unite to demand wergild from the relatives of the aggressor, according to a traditional scale of compensation which has evolved through time and precedent. The offender may be unable to raise the full amount of such wergild himself, but this does not matter, for under collective responsibility all the members of his descent group are obliged to contribute to the payment. In short, the conflict is not between two individuals, but between two descent groups; all of the aggressor's relatives must contribute toward _raising the amount of
the wergild, which is then shared among all the relatives of the injured man.
The system of collective responsibility makes each man his brother's keeper, and rather than become responsible for paying wergild, the members of a descent group usu¬ally keep their more unruly members under tight control. Similarly, because the relatives of the injured man will share in the benefits derived from any compensation, bonus, or wergild they are able to collect, they have a direct and personal interest in standing by the rights of all their members. An actual feud only develops when the relatives of the accused refuse to pay the wergild, but this rarely hap¬pens, for few people desire to be faced with a blood feud if this can be evaded by a payment which is relatively light when shared by all the offender's relatives.
=~.u1 . _ . t... ...~
The main problem faced by societies which pay wergild is that of determining the guilt of the accused. In some cases, this mav be achieved by reference to a mediator, such as the Leopard Skin Chief of the Nuer.. In other cases, a tribal council or chieftain may arbi¬trate, since it is a matter of importance to the entire society that internal disputes between clans or other descent groups should be effec¬tively resolved, lest an enemy take advantage of the prevailing state of dissension to stage an attack. Such arbiters may be selected be¬cause they are deemed to possess divine in¬sights which enable them to detect the truth more accurately than lesser mortals, or else they may represent the leaders of the other clans.
Among the Homeric Greeks, disputes were argued before a council comprising the chiefs of the 12 clans of the tribe-a practice which was widespread among the Indo-Europeans and which leaves a vestigial trait in the English
When we reach the level of centralized chieftainships, in which the leader of society is able to exercise coercive power over his subjects, the concept Of PUBLIC or CRIMINAL Law appears. Whereas in private law the state or its representatives cannot intervene to en¬force decisions, and compensation payments go to the injured individual and his kinsmen, under criminal law all offenses are regarded as offenses against the chieftain, king, or other representative of the state, and offenders will be prosecuted by the state and will be subjected to punishment by the state.
It is at this stage in the evolution of social order that the idea of punishment as a deterrent begins to supplant the idea of wergild as com¬pensation, and formal social controls become institutionalized under the direction of the co¬ordinating authorities. Thus, a king or chief¬tain may assume responsibility for enforcing law and order, but since the king will be obliged to maintain some kind of law enforce¬ment agency, using his personal bodyguard perhaps for the apprehension of offenders, he must have some means of supporting these helpers. Eventually the customs change and instead of the full compensation being paid by the relatives of the offender to the relatives of the injured, half of this-and eventually the whole amount-may be paid to the king to compensate for his expenses in apprehending fugitives and enforcing justice.
When feudalism came into Europe and re¬placed the older tribal-type nations, private law came to be supplemented, though not en¬tirely replaced, by criminal law. Indeed it was the kings of the Franks who first began to prosecute offenders, collecting the fine or wergild for the state treasury rather than al¬lowing it to be paid to the relatives of the injured man. As a result of this development, today in Britain and America an individual who suffers as a result of a criminal action may
receive no compensation from the criminal, although the criminal may be fined or other¬wise punished by the state.
Once the king or state becomes responsible for maintaining social order and bringing offenders to trial, there is an inevitable ten¬dency for the concept of punishment to replace the principle of compensation. The king or chieftain will not wish to be troubled by habit¬ual offenders, who pay compensation only when forced to do so. In such cases the tradi¬tional compensation payments become con¬verted into fines, intended as a deterrent to wrongdoers who flout the law, and an effort will be made to make an example of offenders. Physical punishment may be introduced as a supplement or substitute for the fine. Among the Baganda, offenders were cruelly punished, and in modern Libya and Arabia thieves are still punished by amputation of the offending hand Imprisonment may also become common, on the principle that it is more convenient to keep habitual offenders locked up than to have the trouble of hunting them down each time they commit a new offense. The death penalty is an even cheaper and more spectacular way of dealing with serious offenders, especially when execution is performed publicly as among the Ashanti or in Medieval Europe.
Needless to say, the advantage of criminal law is that the state can afford to maintain a permanent police force to enforce law and to apprehend offenders. Where the police force is run efficiently, the law breaker is in a less happy position than under a system of private law. Also there can be no doubt that under the system of private law, blood feuds did some¬times get out of hand. In the eleventh century we find one Swedish king complaining that the constant blood feuds among his people were killing off all their best fighting men, so that he had difficulty in raising a strong army to protect the nation from its external enemies. State intervention in the matter of social order was perhaps inevitable, but even then the prin-
and American legal systems in the 12 members who still serve on a jury. In Homeric Greece, old Germany, and many parts of Europe, these 12 chiefs heard the evidence of "oath takers" or witnesses who were expected to swear to the innocence or guilt of the accused.4 The duty of the jury was to check the validity of the evidence and to count the number of valid witnesses for each side, the decision going in favor of the group that produced the largest number of acceptable witnes-ses. But the jury never decided the penalty or the amount of the compensation; this was determined by prece¬dent or custom. The function of the jury, as today, was limited to deciding the fact of guilt or innocence, and the king or presiding chief¬tain then pronounced the established and cus¬tomary compensation. In later years in Europe, as the size of societies increased beyond the tribal system, the jury came to be composed of 12 local dignitaries, and the kings delegated their role as court chairmen to judges.
Although the jury system was common to many Indo-European societies, in other socie¬ties decisions regarding the innocence or guilt of the accused might be based on magical divination. The Baganda, for example, use magical oracles to determine the identity of the offender, as described in Chapter 28. Similarly, with the coming of Christianity to Europe, the Christian Church opposed the ancient custom of trial by jury and secured the right for Chris¬tians to opt for trial by a church court in which the decision concerning their guilt was arrived at by magicoreligious ordeals. Such trials, re¬lying upon God to indicate by signs the guilt or innocence of the accused, proved popular with those who had reason to believe that they could not prove their innocence in front of witnesses and a jury.
'Judicial councils throughout tribal Europe usually num¬bered twelve members, see "Government in the Heroic Age," in H. M. Chadwick, The Heroic Age (London: Cambridge University Press, 1967), Chap. 18.
In tribal societies based upon the principles of kinship, the maintenance of social order is essentially a matter of PRIVATE LAW. All dis¬putes are regarded as disputes between kinship groups, and there is no authoritative state officer who is entitled to make arbitrary deci¬sions. Even where the clan leaders sit as a jury, they are seldom authorized to enforce their decisions, and should the losing descent group refuse to pay the traditional wergild, a blood feud may result.
Should a dispute arise within a clan or a kindred, the kinship leader or possibly a kin¬ship council may intervene, but since it is considered morally wrong to lay hands upon a kinsman, OUTLAWRY is the only penalty which can be imposed in such cases. An outlaw has in effect been placed outside the protection of society or in a tribal system outside the protection of his own kin group. He cannot possess property, and may even find his life in danger, for without the protection of kins¬men there is always someone ready to appro¬priate his possessions and slay him if he resists. Thus an outlaw was not someone who had voluntarily put himself outside the laws of his society, but was more usually someone who had been expelled from that society-a man unprotected by "law." The system is surpris¬ingly effective, and costs nothing. It has even been suggested that outlawry might be an effec¬tive and economical way of punishing the more gross wrongdoers in our own society.
Outlawry usually follows FRATRICIDE, the killing of a kinsman or brother. The killing of a kinsman amounts to sacrilege in a kin¬ship-based society but seldom attracts legal proceedings, since the offense concerns only his own descent group. Since the murderer is a kinsman, he cannot be slain because his blood is also sacred, so expulsion from the kinship group is the usual solution.
ciple of collective responsibility did not die at once. The Hittite kings, for example, prose¬cuted justice but held all the relatives of a wrongdoer punishable for his crimes, extir¬pating an entire clan if just one of its mem¬bers turned traitor. The Old Testament of the Bible states that a man's sins shall be visited on his children, and the Incas held village chiefs responsible for the actions of their vil¬lagers.
With the coming of centralized chieftains and the invention of criminal law, the oppor¬tunity for deliberate LEGISLATION or law¬making also appears. Rooted in the principle of kinship, most tribal societies tend to regard Lnw as being simply codified custom, but cen¬tralized chieftains abrogate to the state the right to modify old customs to suit their needs. Centralized chieftains are therefore often great "law givers," like Hammurabi of Mesopotamia and Asoka of India, who collect the old cus¬toms together, edit them, and publish them as "laws." Thus the concept of lawmaking be¬comes accepted. To this day, the English legal system still distinguishes between common law, based upon legal precedent and the idea of custom, and statute law, representing deliber¬ately innovative laws enacted by the King in Parliament.
Law a..' 1` _.
With the old principle of private law steadily giving way to the idea of statute law, power¬ful rulers substitute state law for private law and custom, as Napoleon did with his Napo¬leonic Code. But statute law suffers from the fact that deliberate, man-made innovative laws may often conflict with the traditional customs and mores. While in a tribal society both laws and mores are essentially a part of the culture into which every individual is socialized, and are therefore accepted freely as a part of the content of socialization, in complex modern societies many laws come to be enacted which
offend against the values that an individual may have acquired in the course of his lifetime. In modern societies, therefore, deliberate man-made laws frequently seem to be repres¬sive.
Because the problem of cultural divergency creates animosity and rebellion in multiethnic and multicultural modern states, many ruling political cliques have attempted to reimpose a state of cultural homogeneity upon all the members of culturally diverse states, in an effort to recreate the conditions of simpler, happier, traditional, culturally integrated so¬cieties. Thus many contemporary states em¬ploy government-appointed censors and seek to decide what may or may not be taught in schools and universities. Radio, television, and newspapers may be manipulated in such a way as to persuade the members of society to adopt a single coherent and homogeneous set of cul¬tural values. The Incas effectively integrated all the members of their conquest state into a single cultural system, centered on the wor¬ship of the Sun God and his Incan descendants, by requiring children of conquered tribal lead¬ers to attend school in Cuzco and then sending them back when adequately indoctrinated to rule their tribes as officials of the divine Inca king.5 Similarly, modern totalitarian states¬and even a number of those states which purport to be free societies-seek to suppress cultural variety by making attendance at gov¬ernment schools obligatory and then manipu¬lating the educational curriculum.
There can be no doubt that where a homo¬geneous set of cultural values exists, into which all the members of society have been ade¬quately socialized, there will be a substantial reduction in the number of offenses against the law, providing the law accurately reflects these cultural values. But the spontaneity of cultural homogeneity in small face-to-face societies cannot be recreated in complex societies,
SP. de Cieza de ZeBn, The Incas, trans. by H. de Onis (Norman: University of Oklahoma Press, 1959), Chap. 47.
for the division of labor and other factors tend constantly to create cultural variety. Attempts at deliberate thought control often cause indi¬viduals, enculturated into different subcultures, to react against the attack upon their own par¬ticular values.
Anthropology consequently reveals the in¬accuracy of philosophical theories which por¬tray the state as the product of a deliberate "social contract," entered into by intelligent men wlac were living alone but who desired to collaborate. Society is older than man, and men never agreed to renounce their freedom. In a primordial band which provides a virtu¬ally complete homogeneity of cultural experi¬ence, petty squabbles may develop, but ideo¬logical differences are nonexistent, and a man can seldom conceive of any course of action
other than that to which he has become habit¬uated since childhood. That which is done according to tradition in a primitive society therefore contravenes no one's freedom; only that which is done in opposition to tradition and custom can represent a violation of tradi¬tional "rights." But in the cultural complexity of industrial societies, much invention, inno¬vation, and personal creativeness arises from the interaction of diverse subcultures. At¬tempts to suppress these subcultures and ;; blend all the diverse components of a complex society into a single mold can easily be inter¬preted as political oppression. There is no sim¬ple solution to the problem of maintaining order in complex societies without resorting to laws which may seem too oppressive to some and too lax to others.
Fustel de Coulanges, N. D., 1970, The Ancient City. New York: Doubleday & Company, Inc.
Harrland, E. S., 1971, Primitive Law. Port Washington, N.Y.: Kennikat Press.
Hoebel, E. A., 1940, The Political Organization and Law Ways of the Comanche Indians. Washington, D.C.: American Anthropological Association, Memoir 54.
, 1954, The Law of Primitive Man: fl Study in Comparative Legal Dynarnics. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Hogbin, L, 1934, Law and Order in Polynesia_ London: Bailey Bros.
Maine, Sir Henry, 1906, Ancient Law. New York: Henzv Holt and Company, Inc. Mair, Lucy, 1962, Primitive Government. Baltimore: Penguin Books., Inc. 11alalinowski, B., 1926, Crime and, Custom in Savage Society. London: Rou-1ledge and Kegan Paul, Ltd.
Puhvel, J., (ed.), 1970, Iarfyt1a and Law of California Press.
Radcliffe-Brown, A. R_, 1965. Structure and Function in Primitive Society. New York: The Free Press.
Itosenthal, J., 1966, "Marriage and the Blood Feud in Heroic Europe," British Joaerrzal of Sociolo,;y 17:133-144.
among the Indo-Europeans. Berkeley: University
Rabu, 29 April 2009
Langganan:
Postingan (Atom)